Babad Cirebon # 1
Pupuh Pertama :
Dangdanggula, 13
Bait. Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nirakhim.
Pupuh ini menceritakan lolosnya Walangsungsang—putra Prabu
Siliwangi—yang berkeinginan mencari agama Nabi Muhammad. Walangsungsang
–yang juga putra mahkota Kerajaan Pajajaran—berkeinginan untuk berguru
agama Nabi Muhammad SAW. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada
ayahandanya, Prabu Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan
mengusir Walangsungsang dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang
melarikan diri meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti
panggilan mimpi untuk berguru agama nabi (Islam)
kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati
Cirebon. Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu
dengan seorang pendeta Budha bernama Sang Danuwarsi.
Pupuh Kedua :
Kinanti, 24 bait.
Pupuh ini menceritakan perjalanan Rarasantang – adik Walangsungsang
yang juga berkeinginan untuk mempelajari agama nabi yang menyusul
kakaknya hingga pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi.
Setiap hari, Rarasantang amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh
kakaknya. Ia terus menerus menangis. Jerit hatinya tak tertahankan lagi
hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran.
Lalu, Prabu
Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak
diperkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun,
usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang.
Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri Tajimalela.
Sementara itu,
perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung Tangkuban-perahu dan
bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi pakaian sakti oleh
Nyai Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi
petunjuk agar Rarasantang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang
pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar Cilawung nama Rarasantang diganti
menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan seorang anak yang akan
menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi Tuhan, dan menjabat
sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling diberi petunjuk agar
meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi.
Cerita beralih
dengan menceritakan Resi Danuwarsi—yang juga dikenal dengan nama Ajar
Sasmita—yang tengah mengajar Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti
nama Walangsungsang menjadi Samadullah dan menghadiahi sebuah cincin
bernama Ampal yang berkesaktian dapat dimuati segala macam benda. Ketika
keduanya tengah asyik berbincang-bincang tiba-tiba datanglah
Rarasantang yang serta merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi,
Walangsungsang dinikahkan dengan putri Danuwarsi yang bernama Indang
Geulis. Sesuai dengan petunuk Resi Danuwarsi, Samadullah beserta istri
dan adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju bukit Ciangkup. Indang
Geulis dan Rarasantang “dimasukkan” ke dalam cincin Ampal.
Pupuh Ketiga :
Asmarandana, 16
bait. Di bukit Ciangkup—tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama
Sanghyang Naga—Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama
golok Cabang yang dapat berbicara seperti manusia dan bisa terbang.
Setelah mengganti nama Samadullah menjadi Kyai Sangkan, Sanghyang Naga
memberi petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke Gunung
Kumbang menemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah
teramat tua.
Nagagini adalah
seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga beberapa jenis
pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari tempurung), serta
umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera Pajajaran. Atas
petunjuk Nagagini, Walangsungsang kemudian berangkat ke Gunung Cangak.
Nagagini memberi nama baru bagi Walangsungsang, yakni Karmadullah.
Pupuh Keempat :
Megatru, 26 bait.
Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang
setiap cabangnya dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud
menangkap salah seekor burung bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan
terbang jauh. Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya
menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan setan.
Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk
membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu
diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam
bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian raja bangau
(Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”.
Raja Bango
berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam
perangkap dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh
Walangsungsang. Raja Bango mengajukan permohonan agar tidak disembelih,
dan ia menyatakan takluk kepada Walangsunsang serta mengundangnya untuk
singgah di istananya guna diberi pusaka. Di dalam istana, Raja Bango
berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan benda pusaka
berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai
nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat
mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000
bala tentara. Sanghyang Bango memberi nama Raden Kuncung kepada
Walangsungsang yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati.
Pupuh kelima :
Balakbak, 16
bait. Setibanya di Gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati
yang juga bernama Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih
keturunan Nabi Muhammad SAW dari Jenal Ngabidin.
Lalu,
Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim
dengan mengucapkan syahadat. Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk
Kafi menyuruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi
pantai. Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat
menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan adiknya, yang di "masukkan" ke
dalam cincin Ampal. Perkampungan baru yang akan dibukanya kelak dikenal
dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama Panjunan.
Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang
dengan sebutan Ki Cakrabumi.
Pupuh keenam :
Menggalang, 13
bait. Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. Dengan
kesaktian Golok Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat.
Ketika goloknya bekerja membabat hutan, ohon-pohonan roboh dengan mudah,
lalu golok mengeluarkan api dan membakar kayu-kayu hutan sehingga dalam
waktu singkat pekerjaan sudah selesai; sementara Walangsungsang tidur
mendengkur. Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-pendatang
baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat,
pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan
Cakrabuwana dengan sebutan Kuwu Sangkan.
Kuwu Sangkan
sendiri tidak bertani karena pekerjaannya hanyalah menjala ikan dan
membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke selatan
hingga Gunung Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke
rumahnya yang terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi
telah berada disana.
Pupuh ketujuh :
Sinom, 24 bait.
Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia
menganjurkan supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Walangsungsang mematuhinya. Ia pun berangkat menunaikan ibadah
haji bersama adiknya, Rarasantang. Syekh Datuk Kahfi menitipkan sepucuk
surat untuk sahabatnya, Syekh Bayan dan disarankan agar Walangsungsan
beserta adiknya tinggal di rumah Syekh Bayan selama di Mekah.
Cerita beralih
kepada kisah Raja Uttara, seorang raja Bani Israil yang baru ditinggal
mati oleh istrinya. Ia menyuruh patihnya agar mencari seorang wanita
yang parasnya serupa benar dengan almarhumah permaisurinya.
Patih Raja Uttara
mengembara ke neger Rum, Bustam, Syam, Turki, dan Mesir, namun belum
juga menemukan wanita yang diinginkan rajanya. Akhirnya, ia pergi ke
Mekah pada saat musim haji. Ia melihat tiga orang berjalan
beriring-iringan. Mereka adalah Syekh Bayan, Walangsungsang, dan
Rarasantang. Sang Patih mengikuti mereka sampai ke rumahnya. Menurut
penglihatannya, Rarasantang mirip sekali dengan almarhumah permaisuri
Mesir.
Patih Raja Uttara
meminta Rarasantang utuk menjadi istri Raja Uttara di Bani Israil.
Ternyata, ia bersedia menjadi istri raja Uttara dengan mas kawin sebuah
sorban peningglan Nabi Muhammad SAW.
Pupuh ke delapan :
Asmarandana, 13
bait. Ketika Rarasantang tengah hamil tujuh bulan, ia ditinggalkan
suaminya yang bermaksud mengunjungi negeri Rum menengok pamannya, Raja
Yutta. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, baru satu hari
Raja Uttara berada di Rum, ia terserang penyakit kolera dan tak
tertolong lagi. Raja Uttara sudah pulang ke rahmatullah. Utusan segera
dikirim ke Mesir untuk memberi kabar Raja Uttara telah meninggal di rum.
Pupuh ke sembilan :
Sinom, 15 bait.
Pupuh ini menceritakan kesedihan Rarasantang yang ditinggal mati oleh
suaminya, serta kisah kembalinya Walangsungsang ke tanah Jawa. Kesedihan
Rarasantang yang sedang hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar
kematian suaminya, apalagi masa kehamilannya telah mencapai usia 12
bulan.
Sementara itu, di
Mekah, Syekh Bayan dan Walangsunsang tengah bercakap-cakap tentang
rencana kembalinya ke tanah Jawa. Dalam perbincangan itu, Syekh Bayan
berkeinginan untuk turut serta ke pulau Jawa. Walangsungsang yang telah
berganti nama menjadi Abdul Iman meminta agar Syekh Bayan bersabar
dahulu karena Abdul Iman ingin berkelana mengelilingi daerah Mekah
hingga ke desa-desa.
Tetapi, ternyata
pengembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang saat itu sedang
terserang wabah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena terserang
wabah penyakit. Ia meninggakan seorang anak perempuan yang belum diberi
nama. Demikian pula Sultan Aceh—yang bernama sultan Kut—saat itu juga
sedang sakit parah. Syekh Abdul Iman berhasil menyembuhkan Sultan Aceh
dan putrinya. Putri Aceh yang masih kecil kemudian diambilnya menjadi
anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam cincin Ampal.
Syekh Bayan yang
menunggu Abdul Iman di Mekah hampir tiga bulan ternyata belum kembali
juga. Ia segera mempersiapkan perahu dan berangkat sendiri dari
pelabuhan Julda (Jeddah) menuju Cirebon.
Pupuh ke sepuluh :
Maskumambang, 13
bait. Dengan mengucap bismillah, Syekh Bayan memulai pelayarannya
meninggalkan Mekah menuju Cirebon. Sementara itu, Abdul Iman yang
kembali ke Mekah setelah melakukan pengembaraan merasa ditipu oleh Syekh
Bayan. Dengan kesaktiannya, Abdul Iman segera melesat ke Pulau Jawa. Ia
menantikan kedatangan Syekh Bayan di tepi pantai dengan menyamar
sebagai pencari ikan.
Syekh Bayan tiba
di Cirebon, ia disambut oleh seorang pencari ikan. Ia bertanya kepada
pencari ikan itu di manakah ia bisa menjumpai syekh Datuk Kahfi. Syekh
Abdul Iman yang menyamar sebagai pencari ikan tidak menjawab pertanyaan
Syekh Bayan, melainkan ia menjelaskan bahwa jika Syekh Bayan ingin
menjadi orang yang mulia dan menjadi wali, tunggulah syekh Datuk Kahfi
di Gunung Gajah.
Pupuh ke sebelas :
Dangdanggula, 12
bait. Abdul Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai pencari
ikan, sementara Syekh Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan,
Abdul Iman teringat kepada gurunya, lalu ia kembali ke Panjunan untuk
menemui gurunya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata gurunya tidak ada,
dan yang ada hanyalah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk
Kahfi. Isi surat itu : jika ingin bertemu dengannya, hendaklah menyusul
ke Pandanjalmi.
Ketika ia hendak
pergi lagi mengembara, ia menyerahkan sebuah peti kepada istrinya dengan
pesan : “Kelak, jika datang seorang pemuda dari Mekah, dan tinggal di
Gunung Jati, serahkanlah peti itu kepadanya. Jika anak yang dalam
kandunganmu lahir perempuan, berilah nama Pakungwati. Jika yang lahir
laki-laki terserah. Ibu dan anak hendaklah berguru kepada pemuda yang
berasal dari Mekah itu”.
Abdul Iman pergi
ke Pandanjalmi dan bertapa di Sendang, dan menamakan dirinya Ki Gede
Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak angkatnya yang bernama Nyi
Wanasaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya berganti nama
menjadi Nyi Gandasari dan ketika dukuhnya semakin besar, ia namakan desa
Panguragan. Ia percayakan desa itu kepada anaknya, Ratu Emas Gandasari,
yang juga terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan.
Cerita beralih
pada kisah kelahiran Syarif Hidayat. Tersebutlah Rarasantang di Mesir.
Ia melahirkan bayi kembar laki-laki: anak pertama diberi nama Syarif
Hidayat, sedangkan anak kedua syarif (Ng)aripin. Ketika mereka sudah
berumur 14 tahun, mereka rajin mempelajari ilmu agama. Lebih-lebih
Syarif Hidayat, segala macam kitab agama ia baca hingga akhirnya ia
membaca sebuah kitab rahasia yang tertulis dengan tinta emas.
Pupuh ke dua belas :
Sinom, 21 bait.
Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep
luwi, gegurua ing Mukhamad (jika ingin menjdi manusia istimewa
bergurulah kepada Muhammad), Syarif Hidayat merasa setengah tidak
percaya terhadap amanat yang tertera dalam buku itu. Namun, dalam setiap
tidurnya, ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara: e
Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya,
nimbangi keramat Nabi, ulatana sira guguru Mukhamad (Hai Syarif Hidayat
dengarkanlah petunjukku, jika engkau ingin menjadi manusia mulia
sehingga dapat mengimbangi keramat nabi, carilah dan bergurulah kepada
Muhammad). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang tidak
berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu. Meskipun
demikian, hatinya teguh hendak menuruti petunjuk kitab dan panggilan
mimpi. Ia memohon diri kepada ibunya dan sudah tak dapat dicegah lagi
kemauannya. Ia tidak tertarik pada kedudukan sebagai raja.
Syarif Hidayat
mulai mengembara mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke patilasan Nabi
Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga memperoleh petunjuk.
Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan, membaca shalawat nabi,
dan mengucapkan taubat. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke gunung
Jambini. Di sana, ia bertemu dengan Naga Pratala yang menderita sakit
bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat hanya menjawab :
yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna (jika aku
benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh).
Seketika Naga Pratala menjadi sembuh. Kemudian, ia memberikan sebuah
cincin pusaka bernama Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi
bumi dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif Hidayat dianjurkan agar pergi
ke pulau Majeti (Mardada) menemui pertapa di sana.
Pulau Mardada
dihuni oleh binatang buas dan berbisa yang sedang menjaga sebuah keranda
biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada
seorang pemuda bernama Syekh Nataullah sedang bertapa. Pemuda itu
menjelaskan bahwa tidak ada harapan untuk menemui orang yang sudah
tiada, lebih baik berusaha mendapatkan cincin Mulikat yang berada di
tangan Nabi Sulaiman. Ia menjelaskan bahwa barang siapa memiliki cincin
Mulikat, ia akan menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh
umat manusia. Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah
bersama-sama mengambil cincin tersebut.
Pupuh ke tiga belas :
Kinanti, 30 bait.
Ketika Syarif Hidayat berada di makam Nabi Sulaeman, jenazah Nabi
Sulaeman seolah-olah hidup dan memberikan cincin Mulikat kepadanya.
Syekh Nataullah mencoba merebut cincin tersebut, tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga yang sedang
mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah
melesat jatuh di pulau jawa, sedangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau
Surandil.
Cerita dalam
pupuh ini diselingi oleh kisah Rarasantang yang merindukan Syarif
Hidayat. Sudah sepuluh tahun Rarasantang ditinggal putranya. Ia selalu
berdoa agar anaknya mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba,
ia mendengar suara, ujarnya : wondening anakira iku, waruju kang dadi
aji, Banisrail kratonira, nama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara
brangta, amung putranipun Syarip, lamon eman maring siwi, balik
angungsiyang Jawa, lamon arep ya pinanggi (Anakmu yang muda itu akan
menjadi raja, keratonnya di Baniisrail, bergelar Abdul Sapingi. Jika
engkau benar-benar merindukan anakmu Syarif Hidayat, sebaiknya
kembalilah engkau ke Pulau Jawa.) Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau
Jawa menantikan anaknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk
Kahfi.
Cerita kembali ke
Syarif Hidayat yang jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia melihat
sebuah kendi berisi air sorga yang sangat harum baunya. Kendi itu
mempersilahkan Syarif Hidayat meminumnya. Karena ia hanya menghabiskan
setengahnya, kendi itu meramalkan bahwa kesultanan yang kelak akan
didirikan olehnya tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air kendi itu
dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya.
Setelah berkata demikian, kendi itu pun lenyap.
Syarif Hidayat
kemudian bertemu dengan Syekh Kamarullah. Atas anjurannya, Syekh
Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan gelar Syekh
Ampeldenta. Dengan demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang
tiba di tanah Jawa.
Pupuh ke empat belas :
Sinom, 28 bait.
Suatu ketika, Nabi Aliyas (Ilyas) menyamar sebagai seorang wanita
pembawa roti. Ia menawarkan kepada Syarif Hidayat bahwa rotinya adalah
roti sorga, dan barang siapa yang memakan roti itu, ia akan mengerti
berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan, Inggris, dan Turki.
Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari Muhammad
ikutilah seseorang yang menunggang kuda di angkasa, dialah Nabi Khidir
yang dapat memberi petunjuk. Wanita pemberi petunjuk itu hilang seketika
dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang kuda. Syarif Hidayat
melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang
kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat terpelanting dan jatuh
di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari.
Abdul Sapari
memberinya dua butir buah kalam muksan; sebuah dimakan habis oleh Syarif
Hidayat dan terasa manis sekali, sementara sebuah lagi disimpan untuk
lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan itu menjadi pertanda
bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat
menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu dihabiskan
sekaligus. Akhirnya, buah Kalam Muksan yang sebuah lagi segera dimakan,
namun rasanya sangat pahit dan sangat menyakitkan seperti sakitnya orang
menghadapi sakratul maut. Ia pingsan seketika. Abdul Sapari segera
memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke bubungan
mesjid. Dari situ, Syarif Hidayat mikraj ke langit.
Dalam perjalanan
mikraj, pertama kali ia sampai di pintu dunia dan melihat orang-orang
yang mati sabil serta mukmin yang alim dan kuat beribadat. Di langit
kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia dan patuh pada suami.
Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa yang menghadiahkan nama
Syarif Amanatunggal. Di langit keempat, ia bertemu dengan ribuan
malaikat yang dipimpin oleh Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Para
pemimpin malaikat juga memberinya nama, antara lain, Malaikat Jibril
memberi nama Syekh Jabar, Mikail memberi nama Syekh Surya, Israfil
memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail memberinya nama Syekh Garda
Pangisepsari. Di langit kelima, ia bertemu dengan ribuan nabi, antara
lain, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa. Mereka juga menghadiahi nama
baru bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam memberi nama Syekh Kamil, Nabi
Ibrahim memberi nama Saripulla, dan Nabi Musa memberi nama Syekh Marut.
Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat neraka, dinding jalal, dan meniti
sirotol mustakim. Akhirnya, ia tiba di langit ketujuh dan melihat cahaya
terang benderang.
Pupuh kelima belas :
Kinanti, 26 bait.
Di langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi Muhammad yang
sedang tafakur. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal.
Karena itu, ia tidak boleh mengajar umat manusia. Apalagi karena di
dunia sudah ada wakilnya, yakni para fakir, haji, kitab Al qur’an,
puji-pujian, dan segala macam ilmu telah lengkap di dunia. Akan tetapi,
Syarif Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar
penjelasan langsung dari Nabi Muhammad, terutama tentang makna asasi
kalimat syahadat dan perbedaannya dengan zikir satari. Nabi Muhammad
menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan menganugerahkan jubah
akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan
berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan
menjaga syareat.
Syarif Hidayat
lalu turun dari langit ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di Ajrak dan
kembali ke Gunung Jati. Di sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah
menjadi pertapa wanita bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati
telah pindah ke gua Dalam.
Pupuh ke enam belas :
Sinom, 27 bait.
Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat.
Ketika tamunya datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar
Syarif Hidayat menyusul ke Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung
Gundul, tetapi Syekh Nurjati pergi ke Gunung Jati. Akhirnya, atas
petunjuk cincin Marembut, ia mencegatnya di tengah jalan. Keduanya
mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat
denga nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar
Sultan Jatipurba.
Selesai
mengutarakan pesan-pesannya, Syekh Nurjati lenyap dan tidak pernah
muncul lagi sebagai Syekh Nurjati melainkan sudah bernama Pangeran
Panjunan atau Syekh Siti Jenar, dan bergelar Sunan Sasmita. Dengan
perantaraan cincin Marembut, Syarif Hidayat melihat ke mana sebenarnya
kepergian Syekh Nurjati. Kemudian, ia menjumpai ibunya di Gunung Jati,
dan pergi ke Gunung Muria hendak menemui Syekh Kamarullah yang bergelar
Syekh Ampel Denta.
Saat itu, Syekh
Kamarullah sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya agar dengan
sungguh-sungguh mencari arti dan makna kalimah syahadat. Pangeran Kendal
disuruh bertapa membisu, Pangeran Makdum disuruh tidur di tepi pantai,
dan Pangeran Kajoran harus bertapa menentang matahari. Setelah
murid-muridnya pergi, datanglah Syarif Hidayat. Lalu, keduanya
mendiskusikan ilmu agama. Atas anjuran Syekh Ampeldenta, pergilah Syarif
Hidayat ke Gunung Gajah menemui Syekh Bayanullah yang berasal dari
Mekah.
Pupuh ke tujuh belas :
Amarandana, 48
bait. Di Gunung Gajah, Syekh Bayanullah ternyata telah berganti nama
menjadi Pajarakan. Tetapi, saat ia menanam jagung, namanya menjadi Syekh
Jagung atau Syekh Majagung, atau Ki Dares jika sedang enau. Suatu
ketika, Ki Dares tengah bersenandung seraya memahat enau, datanglah
Syarif Hidayat. Ki Dares kagum melihat keampuhan kalimah syahadat yang
diucapkan oleh Syarif Hidayat yang dapat merontokkan buah pinang dan
mengubahnya menjadi emas, dan ia berkeinginan untuk berguru kepadanya.
Syarif Hidayat
melanjutkan perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui Syekh
Nataullaah yang telah bergelar Syekh Damarmaya yang mengamalkan ilmu
makdum sarpin; siang malam terus menerus mandi dan tak pernah tidur
seolah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat tiba di
sana lalu membaca syadat serta merta air sungai tempat mandi Syekh
Nataullah lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh Damarmaya
apabila ingin mengetahui makna syahadat datanglah ke Cirebon, kelak di
waktu para wali berkumpul.
Lalu, Syarif
Hidayat melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Kendal yang sedang
bertapa membisu—siang malam berjalan sepanjang jalan tanpa berkata-kata.
Seperti halnya ketika bertemu Syekh Damarmaya, Syarif Hidayat
menjelaskan sekelumit ilmu kepada Pangeran Kendal dan menganjurkan
supaya pergi ke Cirebon. Giliran selanjutnya mendatangi Pangeran Makdum
yang sedang bertapa denga tidur di pantai serta pergi ke Madura menemui
Pangeran Kajoran yang sedang bertapa dengan menentang matahari. Semua
pertapa yang ditemuinya diundang ke Cirebon. Sebelumnya mereka menemui
Syekh Ampel di Gunung Muria.
Cerita beralih
pada kisah seorang raja di negara Atasangin yang masih beragama Budha.
Ia telah mengetahui akan kedatangan Syarif Hidayat. Sebelum tamunya
datang, ia beserta negaranya menghilang ke dasar laut. Syarif Hidayat
kemudian meneruskan perjalanan dan bertemu dengan putra mahkota Keling
sedang melarung jenazah ayahandanya. Atas anjurannya, jenazah Raja
Keling kemudian dimandikan dan dikubur. Sesudah itu, ia melanjutkan
perjalanan untuk kembali ke Mesir.
Pupuh ke delapan belas :
Dangdanggula, 25
bait. Ketika Syarif Hidayat tiba di Mesir, ia diminta oleh adiknya,
Syarif Arifin, untuk memangku jabatan sebagai Raja Mesir. Tetapi, ia
tidak mau menjadi raja. Ia tetap memilih sebagai ulama. Ia hanya meminta
kepada adiknya seorang kemenakannya yang bernama Pulunggana untuk
diajak berkelana. Dari Mesir, Syarif Hidayat pergi ke Rum mengunjungi
pamannya, Raja Yutta, lalu ke negeri Cina dan mengabdikan dirinya pada
raja Cina.
Raja Cina
mempunyai seorang putri yang teramat cantik bernama Ratna Gandum yang
jath cinta kepada Syarif Hidayat. Ketika Syarif Hidayat hendak pulang ke
Pulau Jawa, Ratna Gandum berniat mengikutinya, tetapi dilarang oleh
orang tuanya. Meskipun demikian, ia memaksa dan akhirnya melarikan diri
mengikuti Syarif Hidayat. Keduanya selamat sampai di Pulau Jawa dan
menetap di Gunung Jati. Sejak saat itu, Gunng Jati semakin ramai sebagai
pusat agama islam.
Tersebutlah Nyi
Indang Geulis di Kebon Pesisir. Ia memiliki seorang anak perempuan
bernama Pakungwati yang sudah menginjak remaja dan teramat cantik.
Berita tentang wali yang berasal dari Mekah yang bermukim di Gunung Jati
mengingatkan Indang Geulis akan pesan suaminya. Ia segera bersiap-siap
pegi ke Gunung Jati beserta anaknya. Tak lupa pula, ia membawa kendaga
yang ditinggalkan suaminya.
Sebelum Nyi
Indang Geulis tiba di Gunung jati, terlebih dahulu telah datang tamu
dari Gunung Muria, yakni Syekh Ampeldenta beserta murid-muridnya. Tujuan
utamanya adalah membicarakan penyerangan terhadap negara Majapahit yang
masih beragama Budha. Semuanya sepakat dengan rencana itu. Menyusul
kemudian Nyi Indang Geulis bersama Nyi Pakungwati. Ia menyerahkan
kendaga kepada Syarif Hidayat yang ternyata isinya sorban dan surat dari
uaknya, Walangsungsang. Akhirnya, Syarif Hidayat menikah dengan
Pakungwati dan mulailah pembangunan negara (kota) Cirebon yang dimulai
dengan pembangunan alun-alun dan istana yang kemudian terkenal dengan
nama istana Pakungwati.
Pupuh Kesembilan belas :
Asmarandana, 18
bait. Pupuh ini menceritakan kisah Sunan Kalijaga sebagai kisah selingan
dalam cerita Sunan Gunung Jati. Sunan Kalijaga adalah anak Dipati
Tuban, Suryadiwangsa. Ia adalah anak tunggal yang telah menjadi yatim
piatu sejak menjelang masa akil-baligh. Nama kecilnya adalah Nurkamal.
Ia bercita-cita ingin menjadi manusia yang terpuji dan mulia. Setiap
hari, ia membagi-bagikan sedekah kepada para menteri dan seluruh
rakyatnya. Sedekahnya dibagikan tanpa pilih bulu, penjudi, pemadat,
pemabuk, da para pelaku perbuatan maksiat, semuanya boleh ikut
menghabiskan hartanya.
Suatu ketika,
uang dan hartanya sudah habis ketika Nurkamal harus menyelenggarakan
selamatan 1.000 hari kematian orang tuanya. Ia memanggil Patih Sutiman
dengan maksud menggadaikan negeri Tuban kepada Patih Sutiman seharga
2.000 dinar. Akhirnya, negara dan rumah Kadipaten sudah digadaikan. Itu
berarti, ia sudah tidak mempunyai rumah lagi, dan ia berniat untuk
bersedekah di pasar. Di pintu gerbang, Nurkamal bertemu dengan
kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg yang dapat menuntun manusia
menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika dongeng dibeli, ia
urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan jalan kemuliaan.
Akhirnya, ia memilih jalan kemuliaan. Nurkamal menyetujui untuk membeli
dongeng si Kakek seharga 2.000 dinar. Mulailah si Kakek mendongeng yang
berintikan 4 (empat) hal :
- Jangan suka membuka rahasia orang lain.
- Jangan menolak rezeki.
- Jika mengantuk jangan lekas-lekas tidur.
- Jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Si Kakek juga memberi sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang berkhasiat dapat berjalan dengan cepat di angkasa dan memberi nama Nurkamal dengan sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan mengabdi pada Adipati Urawan.
Pupuh kedua puluh :
Pangkur 26 bait,
Adipati Urawan sangat sayang kepada Syarif Durakman. Suatu hari, ia di
ajak berburu ke hutan, tetapi senjata Sang Adipati Urawan tertinggal di
istana. Durakman di suruh mengambil senjatanya. Ketika ia tiba di
kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan Raden
Turna, anak Patih Judipati. Durakman segera kembali ke hutan dengan
membawa tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya
terbongkar segera menyusul suaminya ke hutan dengan kereta. Lalu,
mengadukan bahwa Durakman telah berlaku tidak senonoh kepada dirinya.
Tanpa pikir
panjang, Adipati Urawan menulis sepucuk surat kepada Patih Judipati yang
isinya bahwa orang yang membawa surat harus di bunuh. Jika tidak, Patih
Judipati sendiri yang di penggal kepalanya. Adipati Urawan menjelaskan
pada istrinya –Dewi Srigading--bahwa Durakman akan di bunuh oleh Patih
Judipati. Dalam perjalanan, Durakman bertemu dengan Raden Turna.
Keduanya berjalan bersama ke kepatihan. Di tengah perjalana, kebetulan
ada orang yang melakukan hajatan dan meminta Durakhman untuk mencicipi
makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat pada dongeng si Kakek bahwa
tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun singgah dan ikut berkenduri.
Raden Turna tidak
sabar menunggu kenduri sehingga, secara diam-diam, ia mengambil surat
untuk ayahnya. Ia tinggalkan Durakhman dan segera menyampaikan surat
tersebut kepada ayahnya. Setelah membaca isi surat, terpaksa Patih
Judipati menuruti isi surat itu : kepala anaknya segera ia penggal dan
Raden Turna meninggal seketika. Tidak lama kemudian, Durakhman tiba di
rumah Patih Judipati yang menyatakan diutus sang Adipati untuk mengambil
mayat Raden Turna.
Adipati Urawan
terkejut melihat kedatangan Durakman yang membawa mayat Turna. Durakman
lalu menceritakan pengalamannya membeli dongeng seharga 2.000 dinar.
Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi, dan memberi petunjuk kepada
Durakman supaya mengabdi pada seorang raja perempuan di negeri
Diriliwungan.
Sumber : http://mutiara-fiqh.blogspot.com
bukanya Nyai Endang Geulis itu anaknya Ki Gedeng Alang-Alang ya ?
BalasHapusterus Rara Santang Juga menikah dengan pejabat/keluarga kerajaan Mesir bukan Raja Utara Israel ?